Pentingnya Menyimpan Mata Uang Asing Dalam Dompet

Singkat cerita kepulangan kerja saya kali ini dibelikan flight tiket oleh perusahaan dengan durasi transit di Singapore sekitar delapan jam. Bosan iya, lumayan jenuh iya, yang pasti saya berhasil mengambil sebuah hikmah dari perjalanan pulang kampung yang panjang ini. Hikmah dari pengalaman perjalanan Tan Son Nhat – Changi – Juanda saya curahkan dalam tulisan kali ini. Seandainya tulisan ini membosankan dan garing, saya anjurkan sahabat pelaut membacanya hingga habis, niscaya tulisan ini bermanfaat layaknya blog-blog saya sebelumnya.

                Sudah puluhan tahun saya tidak menginjakkan kaki di salah satu bandara termegah di Asia Tenggara ini, rasa-rasanya masih sama dengan kondisi satu dekade yang lalu lantaran kebersihan ada dimana-mana, dan semuanya serba tertata rapi. Sedetik rasa kekaguman saya, berikutnya saya menuju mesin ATM yang ada di dalam terminal 2 bandara Changi.  Setelah jemari tangan saya beberapa kali menekan tombol-tombol mesin ATM, tak lama berselang keluarlah uang kertas pecahan 10 dollar Singapore sebanyak empat lembar.

                Saya masukkan empat lembar uang tersebut, kemudian saya bergegas mencari toko kelontong yang ada di dalam bandara. Setelah berputar-putar, saya akhirnya menemukannya di lantai dua. Karena saya masih pengen melek, saya akhirnya memilih untuk membeli kopi kaleng kesukaan saya, sisanya saya belikan ‘key chain’ yang notabene merupakan oleh-oleh yang sering saya beli ketika bekerja di luar negri. Mungkin karena ringan dan memiliki daya tahan yang lama (bertahun-tahun, red). Ini adalah buah tangan yang cocok untuk sanak famili dan sahabat-sahabat saya. Saya bayar semua barang belanjaan saya, kini uang ‘Singapore dollar’ saya tinggal 20 dollar lagi. Selanjutnya saya turun tangga, duduk-duduk, minum sekaleng kopi sembari nonton video musik via smartphone (lewat jaringan gratis fasilitas bandara).

                Saya mulai berfikir, kayaknya dua puluh dollar ini harus segera dihabiskan untuk membeli buah tangan lebih banyak lagi. Kapan lagi bisa masuk Singapore? Kesempatan belanja di Singapore (mungkin) tidak akan terulang lagi di kemudian hari. Tanpa ba bi bu saya beranjak dari kursi dan pergi ke lantai dua, menuju toko kelontongan lagi. Kali ini saya menemukan ‘merchandise’ unik yang berbau Singapore, yakni cover/pembungkus paspor. Saya ambil pembungkus paspor satu, sisanya buah tangan favorit lagi. Sengaja saya sisain lima dollar belanjaan saya kali ini, untuk jaga-jaga kalau nanti lapar atau mengantuk lagi.

                Kasir, warga lokal keturunan India sangatlah pengalaman dan smart. Waktu mau membayar, dia sensor buah tangan favorit saya hingga terdengar bunyi ‘klik’ sebanyak tiga kali. Kasir ini pura-pura tidak mendengar perintah saya, saya pun membayar 20 Singapore dollar, alasan dia sudah berbunyi ‘klik’ tiga kali  untuk sebuah barang dan pembeian tidak bisa di-cancel lagi. Sekarang uang Singapore dollar dalam kantong saya habis, Saya pun bengong sambil meninggalkan toko kelontong dalam bandara tersebut.

                Waktu menunjukkan pukul 03.00 waktu setempat. Benar, saat ini saya mulai lapar dan mengantuk. Kembali saya menuju toko kelontong di lantai dua, alhamdulillah toko tersebut buka 24 jam non stop. Saya ambil sekaleng kopi dan buah pisang dengan total harga 4 dollar 60 sen. Karena Singapore dollar saya sudah habis, saya pun berkata kepada kasir: “Boleh nggak dibayar pakai uang rupiah?” Tapi kasir menolak, dia bilang rupiah nggak laku disini. Kasir menjelaskan sambil menunjukkan papan di dinding yang mendiskripsikan mata uang negara mana saja yang berlaku atau bisa ditukarkan disana. Benar saja, di dalam papan tersebut tidak tercantum mata uang rupiah.

                Otak saya memerintahkan untuk pergi ke ATM (untuk mengambil uang lagi), akan tetapi deretan mesin-mesin ATM disana mati semua saat itu, mungkin mesin ATM akan berfungsi kembali pagi hari. Yups, jurus terakhir saya adalah mengeluarkan uang 50 US dollar yang saya simpan di dalam dompet. Sebenarnya ini darurat sekali, karena uang tersebut sebenarnya saya persiapkan bilamana nantinya re-join lagi di kapal tempat saya bekerja sekarang. Perlu pembaca ketahui, saya harus merogoh kocek 25 USD untuk apply visa kerja di Vietnam setiba di Ho Chi Minh airport (kalau saya re-join). Jujur, saya malas bolak-balik Banyuwangi kota ke pasar Rogojampi untuk menukar mata uang rupiah ke USD.

                Begitu saya sodorkan 50 USD, kasir langsung setuju, tapi dia hanya akan memberikan uang kembalian dalam Singapore dollar. Saya menolak, saya tawar kembaliannya 40 USD dan sisanya dollar Singapore. Kasir bersih kukuh untuk memberi semua uang kembalian Singapore dollar. Saya pun menawar lagi, uang kembaliannya 30 USD dan sisanya Singapore dollar. Kembali kasir menolak,  diikuti gerakan tangan membuka laci meja yang mana dia memperlihatkan semua uang yang ada di dalamnya, semua uang yang tersedia hanya dalam bentuk Singapore dollar atau SGD. Transaksi pun gagal. Saya yang kelaparan menggerutu sambil memasukkan uang lima puluh USD ke dalam tas. Dengan refleks saya marah-marah sambil sambil menunjukkan buah tangan yang sudah saya beli tadi. “Kamu sih, saya tadi kan bilang cuma beli dua, kenapa tadi kamu klik tiga kali dan saya harus membayar semuanya? Boleh nggak buah tangan ini saya kembalikan satu, kemudian uangnya saya buat bayar kopi dan buah pisang?” Tanpa saya duga kasir menjawabnya oke, satu kopi kaleng dan buah pisang kini ada dalam genggaman tangan kanan saya. Mukjizat Allah sangatlah nyata, terima kasih Ya Allah.

                Benang merah dari tulisan saya kali ini adalah pentingnya menyimpan mata uang asing di dalam dompet, kalau perlu kita bisa menyimpan lebih dari satu jenis mata uang asing. Yah setidaknya untuk bisa menghindari dari hal-hal yang saya alami barusan. Menyimpan mata uang asing di dalam dompet adalah salah satu identitas pelaut masa kini.

Leave A Comment